Entri Populer

Kamis, 27 Januari 2011

Penasaran

Setiap menjelang tahun baru, ketika dinasehatkan agar daerah2 mengadakan “kegiatan2 yg positif di malam tahun baru” khususnya untuk generus / muda-mudi, saya selalu mendapat pertanyaan yang sama; mengapa kita harus mengadakan acara di malam tahun baru, apakah ini tidak sama dengan amalannya o...rang2 ahli kitab ? bahkan ada yang pertanyaannya “to the point” mengapa "pusat" mengidup2kan bid’ah di malam tahun baru ?

Dalam artikel ini saya ingin sedikit share pandangan tentang kegiatan “kegiatan yg positif di malam tahun baru” dalam prepektif QH.
Merayakan tahun baru adalah sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w akan tetapi bukan berarti itu sesuatu yang bid’ah, sebelum kita “menghukumi” sesuatu itu bid’ah, maka seharusnya kita jelas / faham dahulu apa itu definisi bid‘ah (bahasa Arab: بدعة) menurut arti "lughat" adalah;"Ma uhditsa bighairi mitsalin sabiq"; Sesuatu yang dilakukan dengan tanpa ada contoh. (kamus al-Munjid) sedangkan menurut "istilah"; Berarti sebuah perbuatan yang berkaitan dengan ibadah yang tidak pernah diperintahkan maupun dicontohkan oleh Nabi Muhammad s.a.w tetapi banyak dilakukan oleh masyarakat sekarang ini.

Ta’rif (definisi) bid’ah menurut para Ulama’;
- Imam as-Syathibi : Bid'ah dalam agama adalah; satu jalan dalam agama yang diciptakan menyamai syariat yang diniatkan dengan menempuhnya bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah.
- Ibnu Rajab : Bid’ah adalah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syari’at. Jika perkara-perkara baru tersebut bukan pada syariat maka bukanlah bid’ah, walaupun bisa dikatakan bid’ah secara bahasa.
Dan masih banyak Ulama’ ahlis Sunnah yang membuat ta’rif bid’ah diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang pada intinya sama dengan dua ta’rif bid’ah di atas.
Kesimpulan : Bahwa bid’ah adalah mengadakan suatu perkara yang baru dalam agama, adapun mengadakan suatu perkara yang tidak diniatkan untuk agama tetapi semata diniatkan untuk terealisasinya kemaslahatan manusia yang bersifat duniawi tidak bisa dinamakan bid’ah.

Dari definisi bid’ah di atas maka jelaslah bahwa ijtihad “pusat” tentang kegiatan pengajian atau aktifitas yang lainnya dengan tujuan agar generus / muda-mudi tidak terpengaruh pada kegiatan umumnya orang luar yang mengadakan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada kemaksiatan, sama sekali tidak bisa dikategorikan bid’ah, hal ini diperkuat dengan fakta2, bahwa:
1. Ijtihad “acara” di malam tahun baru, bukanlah acara yang semata2 diadakan untuk “pesta” merayakan tahun baru itu, malah menjadi acara yang bertujuan memberi “kesibukan” kepada muda-mudi sehingga tdk keluar bersama teman2nya yg blm mengaji (yg tentunya akan mempengaruhi / mengajak merayakan pesta menyambut tahun baru)
2. Ijtihad tsb juga bukan berupa pengajian yang semata-mata diadakan khusus untuk menyambut tahun baru, sebagaimana “bid’ah” yang dilakukan oleh umumnya umat Islam ketika menyambut tahun baru Hijrah dengan mengadakan acara bacaan doa awal tahun dan akhir tahun secara berjamaah di Masjid-masjid.

Sebenarnya sehubungan dengan “tahun baru” mempunyai tiga option;
1. Pertama; Melarang dengan “keras” perayaan tahun baru, dengan pendekatan “taat surga, tidak taat neraka” dan tidak disertai memberi solusi mengadakan acara yang membuat mereka tidak merasakan “kekosongan waktu”, yang ada “pokoknya” haram mengadakan perayaan tahun baru, pendekatan seperti ini jelas tdk sesuai dg sabda Nabi; Yassiru wala tu’assiru, wa bassyiru wala tunaffiru; mudahkanlah jangan persulit, dan gembirakanlah jangan persukar. HR. al-Bukhari. Selain itu pendekatan seperti ini dalam pelaksanaannya tidak efektif, karena akan membuat rukyah (dlm hal ini muda-mudi) merasa berat untuk mentaatinya, bahkan berpeluang menjadi peraturan yang sia-sia (dibuat tapi kemungkinan besar akan banyak yang melanggarnya).
2. Kedua; Membiarkan saja (mboh ora weruh / masa bodoh) jamaah mau ngapain saja itu urusan masing2 (kata Maia; emangnya gue pikirin…..) pokoknya gue sudah nasehat; jangan merayakan “tahun Baru” kalau masih “degil / melanggar” itu urusan masing2 (kata Gus Dur; gitu aja kok repot !), ini juga suatu kesalahan yang akan menjadi “ganjalan” bagi seorang imam di hadapan Allah kelak, sebab sebagai orang yang mengemban amanah dia telah "ghas" (masa bodoh), berdasarkan sabda Nabi s.a.w; Tiada seorang imam yang tidak meliputi rukyahnya dengan nasehat dan ijtihad melainkan dia tidak akan masuk surga bersama mereka (rukyah, maksudnya; rukyah masuk surga imam masuk neraka). HR. Abu Dawud
3. Ketiga; Ini adalah option yang paling aman baik untuk Imam maupun untuk rukyah, dan option inilah yg dipilih yaitu diadakan “kegiatan positif” yang membuat rukyah sibuk sehingga tidak mencari2 kesibukan di luar yang akhirnya membuat mereka larut dengan amalan jahiliyah (merayakan acara tahun baru dg pesta sebagaimana yang umumnya orang2 barat) option ini boleh dikatakan option yang terbaik dari semua option2 yang jelek, namun sebagaimana yg kita maklum bahwa menjadi kewajiban “ulil amri” untuk senantiasa berijtihad yang terbaik bagi rukyahnya termasuk membendung mereka dari kemaksiatan, di kalangan ulama’ Ushulin (ahli dalam Ilmu Ushul Fiqh) dikenal dengan adanya kaedah; mashalih al-mursalah atau ihtihsan yang maksudnya ialah; Mengusahakan kemaslahatan untuk menjaga kepentingan umat dan syari’at dengan mencegah serta menolak segala sesuatu yang mendatangkan kerusakan dan kemudharatan terhadap umat. (al-Khawarizmi).

Dan sebagai “mujtahid” setelah berijtihad kalau ternyata ijtihadnya benar akan mendapat dua pahala tapi kalau ijtihadnya salah juga tetap mendapat satu pahala, mudah2an Allah paring manfaat dan barokah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar