Entri Populer

Kamis, 27 Januari 2011

BERDEBAT DAN BERDISKUSI

Salah satu kebiasaan tercela dari berdebat adalah menyela pembicaraan
ketika lawan bicara sedang mengemukakan pendapatnya. Dalam
realita, keinginan untuk memenangkan perdebatan, bagaimanapun caranya,
sering mengenyampingkan pemikiran yang sehat. Hasil perdebatan, ya...ng
bisa diprediksi sebelumnya, adalah perselisihan. Tidak ada satu pun faedah
yang bisa ditarik pelajaran dari sebuah perdebatan, kecuali jangan berdebat.
Lain halnya dengan berdiskusi, ia merupakan sarana untuk mendapatkan
kebenaran ilmiah dengan cara yang luwes dan santun. Yang
melahirkan sikap toleran dan saling menghormati pendapat yang berlainan.
Dalam berdiskusi, tanpa memotong pembicaraan, masing-masing
bergantian menyimak yang diucapkan kawan bicara kita. Walau memang,
dalam prakteknya, keinginan menyela pembicaraan itu selalu ada --karena
sulit dihindarkan-- namun tidak sesering dalam berdebat.
Ketika mengakhiri diskusi masalah agama, kita tidak perlu memutuskan
hasilnya saat itu juga. Yang penting kita mengingat semua yang
telah diperbincangkan; dan membawanya pulang ke rumah.
Menjelang tidur, dengan hati yang tenang dan jauh dari prasangka
buruk, kita renungkan kembali semua yang telah diungkap. Jika di sana
kita menemukan kebenaran, walau berasal dari pihak lawan bicara, kita tak
perlu malu untuk memungutnya. Sebab, ibarat cahaya bulan yang sebetulnya
merupakan pantulan sinar matahari, kebenaran itu sesungguhnya
datang dari Tuhan; lawan bicara kita itu hanya sekadar perantara.
Catatan:
Kita cenderung pada dua kebiasaan: Pertama, memperbincangkan
sesuatu yang tidak perlu diperbincangkan. Kedua, tidak memperbincangkan
sesuatu yang seharusnya diperbincangkan.
Berdebat melahirkan perselisihan; berdiskusi menciptakan sikap saling
menghormati. Jadikanlah rasa hormat untuk menghapus perbedaan,
bukan perbedaan yang menghilangkan rasa hormat.
Menghormati orang yang menghormati kita adalah sikap yang seharusnya.
Tidak menghormati orang yang tidak menghormati kita adalah
sikap yang wajar. Menghormati orang yang tidak menghormati kita adalah
sikap orang yang ikhlas.
Ada peribahasa klise yang sering dikedepankan: “Tiada gading yang
tak retak; tidak ada orang yang sempurna yang luput dari kekurangan dan
kesalahan”. Sayangnya, peribahasa ini hanya diucapkan bila kita membela
diri atas kesalahan kita. Jarang, atau tidak pernah, kita kemukakan katakata
mutiara itu untuk memaklumi dan memaafkan kesalahan orang lain.


NASIHAT

Di samping memberi maaf, rasanya tidak ada perbuatan baik --yang
tidak memerlukan biaya-- yang lebih mudah dikerjakan selain dari memberi
nasihat. Memberi saran adalah amalan yang bisa dilakukan siapa saja,
dan dalam situasi serta kondisi apa saja. Baik oleh orang yang dipandang
memiliki kelebihan maupun oleh orang yang sebenarnya mempunyai
banyak kekurangan, baik di kala susah ataupun di saat senang. Namanya
juga nasihat, mestilah ia bermanfaat; bukanlah nasihat jika ia tidak memiliki
faedah bagi pendengarnya.
Hanya saja, dalam realitanya, setiap orang mesti memaklumi bahwa
menerima saran tidaklah semudah memberi nasihat. Hal ini bisa terjadi,
bukan saja karena yang diberi nasihat adalah orang yang tinggi hati atau
bebal --seperti dalam beberapa kasus, nasihat dianggap kritik dan disalahtafsirkan
sebagai usaha mencampuri urusan orang lain-- tapi dimungkinkan
juga oleh situasi atau kondisi yang tidak mendukungnya.
Contohnya, ketika seseorang ditinggal wafat orang yang dicintainya,
begitu mudah kita menasihatinya untuk sabar dan tawakal (dan ini bukan
saja tak salah, malah dianjurkan). Namun, begitu kita mengalami peristiwa
serupa, nasihat tersebut dinilai tidak lebih sekadar angin lewat. Dalam
prakteknya, jarang --atau mungkin tidak pernah-- kita sabar dan tawakal
manakala menghadapi masalah semacam itu. Dan ini wajar saja; sebab, seperti
sudah diutarakan, menerima saran tidaklah semudah memberi nasihat.
Hal di atas patut jadi perhatian, baik bagi yang menerima ataupun
terlebih bagi yang memberi nasihat. Sebab makna tujuan sebenarnya dari
suatu nasihat adalah kebaikan dan kemanfaatan untuk semua pihak. Jangan
sampai niat baik penyampaian suatu nasihat malah melahirkan perselisihan.
Karenanya, penyampaian suatu nasihat hendaknya senantiasa disertai
dengan kearifan. Senantiasa didasarkan kepada mengharap keridhaan Nya
semata-mata. Walau, dalam banyak kenyataannya, tak sedikit nasihat kita
yang hanya sekadar ucapan di lidah; dan bukan keluar dari hati kita yang
bersih dan ikhlas.
Buat yang menerima nasihat
¨ Biasakan memotivasi diri untuk bisa berobah. Seribu nasihat --dari
seribu ulama, seribu buku, seribu seminar-- tak ada artinya jika kita sendiri
tidak mau berobah. Jadi, kunci utama perobahan nasib kita adalah merobah
sikap dan perilaku kita itu sendiri; bukan sekadar karena nasihat.
¨ Biasakan memotivasi diri untuk mau mendengar nasihat orang lain.
Barangkali, dengan melaksanakan saran seseorang, kita bisa berobah; bisa
lebih baik dari orang yang menasihati kita. Tidaklah semata-mata ia memberi
nasihat jika bukan karena ingin melihat kebaikan pada diri kita.
¨ Selain kekurangan, setiap orang pasti memiliki kelebihan dalam satu
hal. Dari hal kelebihannya itu kita dapat menarik pelajaran.

¨ Usahakan untuk senantiasa berpikir positip; untuk tak selalu berburuk
sangka. Pertimbangkanlah nasihat orang lain. Jika ada manfaat yang
memang pantas ditarik darinya, kita tidak usah malu menerimanya. Seandainya
sekarang kita tidak dapat melaksanakan nasihatnya pun, mungkin
suatu saat kita bisa mengambil manfaatnya.
¨ Setiap orang, termasuk kita, biasanya memiliki ego yang negatip;
memiliki prinsip tak mau disalahkan, dan lebih suka menyalahkan orang
lain. Karenanya, sebelum mendengar saran dari orang lain, seutamanya kita
lebih dulu memotivasi diri kita untuk menghilangkan sifat negatip tersebut;
memotivasi diri untuk tidak mudah tersinggung, untuk tidak cepat marah.
¨ Setiap orang, termasuk kita, pernah melakukan keburukan, pernah
berbuat kesalahan. Namun tetap terbelenggu dengan keburukan merupakan
kebodohan. Sebab keburukan kita akan membuat hidup kita suatu saat
menjadi lebih buruk. Karenanya --tak ada istilah terlambat-- sudah saatnya
kita merobah perilaku buruk tersebut dengan mau melaksanakan nasihat
orang lain.
Buat yang memberi nasihat
¨ Mesti diingat, hal yang paling mudah dilakukan adalah berbicara dan
membuat teori. Bukti dan praktek itu yang sering tidak pernah jadi kenyataan.
Cara yang mempermudah saja kadang tidak dikerjakan, apalagi
yang mempersulit. Karenanya, jangan sekali-kali mempersulit.
¨ Jangan sekali-kali memaksakan satu pemahaman, walau kita menganggapnya
sebagai sebuah nasihat. Kita memang punya hak untuk menyampaikan
sesuatu yang kita anggap baik, tapi orang lain pun punya hak
untuk menolak apa yang tidak berkenan dengannya.
¨ Suatu realita, tidak semua orang akan menerima nasihat sebagai suatu
kebaikan. Sifat dan karakter seseorang memungkinkan kesalahpahaman
dalam penyampaian dan penerimaan nasihat. Sementara kemampuan daya
nalar memungkinkan terjadinya kesalahan pemahaman.
¨ Carilah waktu yang tepat; sesuaikan dengan situasi dan kondisi
orang yang akan diberi saran. Waktu, situasi kondisi, dan cara yang tidak
tepat, bukan saja bisa membuat suatu nasihat tidak diterima, tapi tidak
mustahil malah memunculkan ketidaksukaan kepada kita. Alih-alih mau
berbuat baik, yang didapat malah permusuhan.
¨ Kita bukan makhluk yang suci. Adakalanya --karena terpaksa atau
tidak, hanya Allah yang tahu-- kita menceritakan keburukan seseorang.
Hanya saja ada yang maksudnya semata-mata memang untuk menjelekkan;
ada juga yang niatnya untuk dijadikan peringatan, agar kita dan orang lain
waspada terhadap perilaku buruk orang tersebut.
¨ Tidaklah salah menunjukkan arah jalan kepada orang lain, namun
janganlah mengada-ada dalam mencari-cari kesalahan orang lain. Pesan
Rasulullah Saw, “Alangkah baiknya orang-orang yang sibuk meneliti aib
diri sendiri, dengan tidak mengurusi (membicarakan) aib-aib orang lain”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar